300x250 AD TOP

Selasa, 31 Desember 2013

Tagged under: ,

Pandangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah Terhadap Sahabat Nabi Radhiyallahu 'Anhum



بسم الله الرحمن الرحيم

Oleh
Ustadz Abu Ihsan al-Atsari

KEUTAMAAN SAHABAT NABI RADHIYALLAHU 'ANHUM

Keutamaan para sahabat Nabi, tingginya kedudukan dan derajat mereka, merupakan perkara yang telah diketahui baik oleh kalangan kaum Muslimin, dan merupakan sesuatu yang sangat penting di dalam din Islam. Banyak ayat-ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi yang menerangkan hal tersebut. 

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman, yang artinya: "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka; kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaanNya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil; yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar". [al-Fath : 29]

Ayat ini mencakup seluruh sahabat Nabi Radhiyallahu 'anhum, kerena mereka seluruhnya hidup bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dalam tafsirnya, Ibnu Jarir berkata: "Bisyr telah menyampaikan kepada kami dari Yazid, dari Sa'id, dari Qatadah tentang firman Allah "berkasih sayang sesama mereka", yakni Allah menanamkan ke dalam hati mereka rasa kasih sayang sesama mereka. Dan firman Allah "kamu lihat mereka ruku' dan sujud", yakni kamu lihat mereka ruku' dan sujud dalam shalat. Firman Allah "mencari karunia Allah", yakni mereka mencari keridhaan Allah dengan ruku' dan sujud tersebut, dengan sikap keras terhadap orang kafir dan saling kasih sayang sesama mereka. Hal itu merupakan rahmat Allah kepada mereka dengan memberi keutamaan atas mereka, dan memasukkan mereka ke dalam surgaNya. Firman Allah "dan keridhaanNya", yakni Allah meridhai mereka semua".

Allah berfirman, yang artinya: "Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepadaNya. Allah menyediakan bagi mereka jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar". [at-Taubah : 100]

Berkenaan dengan tafsir ayat di atas, Ibnu Katsir berkata: "Allah Yang Maha Agung mengabarkan bahwa Dia telah meridhai orang-orang terdahulu lagi pertama-tama masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Sungguh celaka orang yang membenci mereka, mencaci atau membenci dan mencaci sebagian dari mereka. Terutama penghulu para sahabat sepeninggal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang paling baik dan paling utama di antara mereka, yakni ash-Shiddiq al-Akbar, Khalifah A'zham Abu Bakar bin Abi Quhafah Radhiyallahu 'anhu. Kelompok celaka dari kalangan Rafidhah telah memusuhi sahabat paling utama, membenci serta mencaci para sahabat. Kita berlindung kepada Allah dari hal itu.

Itu menunjukkan bahwa akal dan hati kaum Rafidhah terbalik. Dimanakah kedudukan iman mereka kepada al-Qur'an, sementara mereka mencaci orang yang telah Allah ridhai?

Adapun Ahlus Sunnah, mereka senantiasa mendoakan kebaikan bagi orang yang telah diridhai oleh Allah (dengan mengucapkan radhiyallahu 'anhum), mencela siapa saja yang telah dicela oleh Allah dan RasulNya, membela siapa saja yang telah dibela oleh Allah dan RasulNya, memusuhi siapa saja yang memusuhi Allah. Ahlus Sunnah adalah orang yang selalu mengikuti (kebenaran), bukan orang yang membuat-buat bid'ah. Mereka selalu meneladani (Rasul), bukan orang yang mengada-ada. Oleh sebab itu, mereka adalah hizbullah yang pasti menang dan hambaNya yang beriman.

Hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyebutkan keutamaan dan kesenioran para sahabat, telah diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَجِيءُ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ 

"Sebaik-baik manusia adalah pada zamanku, kemudian zaman berikutnya dan kemudian zaman berikutnya. Lalu akan datang satu kaum yang persaksiannya mendahului sumpah, dan sumpahnya mendahului persaksian (yakni bersumpah dan bersaksi sebelum diminta, Pent)."[1]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan, bahwa zaman beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat hidup adalah sebaik-baik keadaan secara mutlak. Tidak ada zaman yang lebih baik daripada zaman pada masa mereka. Barangsiapa mengatakan selain itu, maka ia termasuk zindiq.

Dalam hadits Imran bin Hushain Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ 

"Sebaik-baik umatku adalah pada kurunku, kemudian kurun berikutnya, kemudian kurun berikutnya."[2]

Dalam hadits 'Aisyah Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: "Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, siapakah sebaik-baik manusia?" Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Kurun yang aku hidup saat ini, kemudian kurun berikutnya, kemudian kurun berikutnya."[3]

SAHABAT SEBAGAI PENGAWAS DAN PENGAMAN UMAT INI
 
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

النُّجُومُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ فَإِذَا ذَهَبَتِ النُّجُومُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوعَدُ وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِي فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِي مَا يُوعَدُونَ وَأَصْحَابِي أَمَنَةٌ لِأُمَّتِي فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِي أَتَى أُمَّتِي مَا يُوعَدُونَ 

"Sesungguhnya bintang-bintang itu adalah pengaman bagi langit. Jika bintang-bintang itu lenyap, maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas langit. Aku adalah pengaman bagi sahabatku. Jika aku telah pergi, maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas sahabatku. Dan sahabatku adalah pengaman bagi umatku. Jika sahabatku telah pergi, maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas umatku." [Hadits riwayat Muslim no. 2531, dari jalur Sa'id bin Abi Burdah dari ayahnya, yakni Abu Musa al-Asy'ari Radhiyallahu 'anhu]

Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ini menjelaskan keagungan dan posisi strategis para sahabat di tengah umat. Mereka adalah pengaman sekaligus pengawas umat ini sepeninggal Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maksudnya, mereka selalu mengawasi, agar umat ini tidak tersesat dan tidak menyimpang dari jalan yang telah mereka tempuh bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

SAHABAT SEBAGAI SUMBER RUJUKAN SAAT PERSELISIHAN & SEBAGAI PEDOMAN PEMAHAMAN
 
Oleh karena itulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan bila timbul perpecahan dan perselisihan di kalangan umat ini, agar kembali kepada Kitabullah, Sunnah RasulNya dan Sunnah Khulafaur Rasyidin, yakni para sahabat radhiyallahu 'anhum jami'an.

Diriwayatkan dari al-Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan nasihat yang membuat air mata kami mengalir, dan membuat hati kami bergetar." Kami berkata: "Wahai, Rasulullah! Sepertinya ini merupakan nasihat perpisahan. Apa yang Anda wasiatkan kepada kami?" Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:

قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ وَمَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ وَعَلَيْكُمْ بِالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ فَإِنَّمَا الْمُؤْمِنُ كَالْجَمَلِ الْأَنِفِ حَيْثُمَا انْقِيدَ انْقَادَ

"Sungguh saya telah meninggalkan kalian (yakni para sahabat) di atas jalan yang putih bersih, siang dan malamnya sama terangnya. Siapa saja yang menyimpang darinya (dari jalan putih bersih yang para sahabat berada di atasnya), pasti (ia) binasa. Barangsiapa yang hidup sepeninggalku, ia pasti melihat perselisihan yang amat banyak. Hendaklah kalian tetap memegang teguh sunnahku yang kalian ketahui dan sunnah Khulafaur Rasyidin (yakni para sahabat) yang berada di atas petunjuk. Hendaklah kalian selalu patuh dan taat, meskipun diperintah oleh seorang budak Habasyi. Peganglah erat-erat. Sesungguhnya seorang mukmin itu laksana unta yang jinak. Apabila diarahkan (kepada kebaikan), ia pasti menurut."[4]

Juga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ 

"Ketahuilah, sesungguhnya Ahli Kitab sebelum kalian telah terpecah-belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan bahwa umat ini, juga akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Tujuh puluh dua di antaranya masuk neraka, dan satu golongan di dalam surga, yakni al-Jama'ah." [HR. Abu Dawud dan lainnya. Derajat hadits ini shahih]

Dalam riwayat lain yang dikeluarkan oleh al-Hakim dan lainnya telah disebutkan tafsir al-Jama'ah:

مَا أَنَا عَلَيْهِ اليَوْمَ وَ أَصْحَابِي

"Apa (pedoman) yang aku dan para sahabatku berada di atasnya."

Maksud al-Jama'ah ialah, siapa saja yang mengacu kepada pedoman yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yakni al-Qur'an dan as-Sunnah, serta menurut pedoman pemahaman sahabat beliau Radhiyallahu 'anhum.

Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu telah menjelaskan kepada kita, tentang alasan dipilihnya pemahaman sahabat sebagai pedoman acaun. Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu berkata: "Sesungguhnya Allah melihat hati para hambaNya. Dia dapati yang paling baik adalah hati Muhammad, maka Allah memilihnya untuk diriNya, dan Dia utus untuk membawa risalahNya. Kemudian Allah kembali melihat hati para hambaNya setelah hati Muhammad. Dia dapati yang paling baik ialah hati para sahabatnya. Maka Allah menjadikan mereka sebagai pembantu-pembantu NabiNya dan berperang untuk agamaNya. Segala sesuatu yang dipandang baik oleh kaum Muslimin (sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam), maka pasti baik di sisi Allah. Dan apa yang dipandang buruk oleh kaum Muslimin, pasti buruk juga di sisi Allah." [Atsar shahih, riwayat Ahmad no. 3600, al-Bazzar no. 1816 dan ath-Thabrani no. 8582]

BERPEDOMAN KEPADA SAHABAT, ADALAH JAMINAN KEMENANGAN
 
Dalam hadits riwayat Muslim no. 2523 dari jalur Abu Zubair, dari Jabir, dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يُبْعَثُ مِنْهُمُ الْبَعْثُ فَيَقُولُونَ انْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ فِيكُمْ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُوجَدُ الرَّجُلُ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ ثُمَّ يُبْعَثُ الْبَعْثُ الثَّانِي فَيَقُولُونَ هَلْ فِيهِمْ مَنْ رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ ثُمَّ يُبْعَثُ الْبَعْثُ الثَّالِثُ فَيُقَالُ انْظُرُوا هَلْ تَرَوْنَ فِيهِمْ مَنْ رَأَى مَنْ رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَكُونُ الْبَعْثُ الرَّابِعُ فَيُقَالُ انْظُرُوا هَلْ تَرَوْنَ فِيهِمْ أَحَدًا رَأَى مَنْ رَأَى أَحَدًا رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُوجَدُ الرَّجُلُ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ 

"Akan datang suatu masa, yang saat itu ada satu pasukan dikirim (untuk berperang)." Mereka mengatakan: "Coba lihat, adakah di antara kalian seorang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam?" Ternyata ada satu orang sahabat Nabi. Maka karenanya, Allah memenangkan mereka. Kemudian dikirim pasukan kedua. Dikatakan kepada mereka: "Adakah di antara mereka yang pernah melihat sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam?" Maka karenanya, Allah memenangkan mereka. Lalu dikirim pasukan ketiga. Dikatakan: "Coba lihat, apakah ada di antara mereka yang pernah melihat seorang yang pernah melihat sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam?" Maka didapatkan satu orang. Maka Allah memenangkan mereka. Kemudian dikirim pasukan keempat. Dikatakan: "Coba lihat, apakah ada di antara mereka yang pernah melihat seorang yang pernah melihat seseorang yang melihat sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam?" Maka didapatkan satu orang. Akhirnya Allah memenangkan mereka."

Hadits ini menjelaskan kepada kita, betapa mulia kedudukan sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka. Allah memberi jaminan kemenangan bagi para sahabat dan orang-orang yang mengikuti sahabat. Tentu saja, yang dimaksud dalam hadits bukan hanya sekadar melihat dengan mata kepala saja, namun maksudnya ialah mengikuti pedoman mereka. Sebagaimana yang telah disebutkan tentang definisi sahabat Radhiyallahu 'anhum.

SIAPAKAH YANG DIMAKSUD SAHABAT NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM ?
 
Sahabat adalah, siapa saja yang melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau bertemu dengan beliau walau hanya sesaat lalu beriman kepada beliau dan ia mati di atas keimanan.

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya (249) dari hadits al-'Ala' bin Abdirrahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melewati sebuah pekuburan. Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ وَدِدْتُ أَنَّا قَدْ رَأَيْنَا إِخْوَانَنَا قَالُوا أَوَلَسْنَا إِخْوَانَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَنْتُمْ أَصْحَابِي وَإِخْوَانُنَا الَّذِينَ لَمْ يَأْتُوا بَعْدُ 

"Salam kesejahteraan atas kalian, wahai penghuni perkampungan kaum Mukminin. Dan aku Insya Allah akan menyusul kalian. Sungguh aku sangat merindukan untuk bertemu dengan saudara-saudara kita." Para sahabatpun bertanya, "Bukankah kami ini saudara-saudaramu?" Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Kalian adalah para sahabatku, sedangkan saudara-saudara kita adalah mereka yang datang kemudian."

Hadits ini menunjukkan, bahwa yang dimaksud sahabat ialah, orang yang bertemu dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam serta beriman kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sedangkan yang datang sesudahnya ialah, saudara-saudara beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Adapun orang yang bertemu dan beriman kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, (ia) dinamakan sahabat, baik pertemuan itu dalam waktu yang lama maupun sebentar. 

Adapun dalil yang menunjukan bahwa orang yang bertemu dan beriman kepada Rasulullah serta mati di atas keimanan disebut sebagai sahabat ialah, sebuah hadits riwayat Ibnu Abi Syaibah (12/178) dari Zaid Ibnu Hibban, dari Abdullah bin al-'Ala' bin 'Amir, dari Watsilah bin al-Asqa', dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Kalian akan tetap berada dalam kebaikan selama di tengah-tengah kalian terdapat orang yang melihat dan menyertaiku. Demi Allah, kalian akan tetap berada dalam kebaikan, selama di tengah-tengah kalian terdapat seorang yang melihat orang yang melihatku, dan menyertai orang yang menyertaiku."

Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ya'qub bin Sufyan, di dalam at-Tarikh (2/351), dari Adam, dari Baqiyah bin al-Walid, dari Muhammad bin Abdirrahman al-Yahshabi, bahwa ia mendengar Abdullah bin Basar berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

طُوْبَى لِمَنْ رَآنِي وَ طُوْبَى لِمَنْ آمَنَ بِي وَلمَ ْيَرَنِي وَ طُوْبَى لَهُ وَ حُسْنَ مَآبٍ

"Sungguh beruntung orang yang melihatku, dan sungguh beruntung orang yang beriman kepadaku, sedangkan ia belum pernah melihatku. Sungguh baginya keberuntungan dan balasan yang baik." [Hadits ini juga dikeluarkan oleh Ibnu Abi 'Ashim di dalam as-Sunnah, 1527, dari Ya'qub]

Ibnu Faris, seorang pakar bahasa, ia menjelaskan di dalam Mu'jamu Maqayisil Lughah (III/335) dalam pasal Sha-ha-ba: "Menunjukkan penyertaan sesuatu dan kedekatannya dengan sahabat yang disertainya itu. Bentuk jamaknya adalah shuhab, sebagaimana kata raakib bentuk jamaknya rukab. Sama seperti kalimat 'ashhaba fulan', artinya menjadi tunduk. Dan kalimat 'ashahbar rajulu', artinya, jika anaknya telah berusia baligh. Dan segala sesuatu yang menyertai sesuatu, maka boleh dikatakan telah menjadi sahabatnya."

Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan di dalam Majmu' Fatawa (IV/464): "Shuhbah adalah istilah yang digunakan untuk orang-orang yang menyertai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam jangka waktu yang lama maupun singkat. Akan tetapi, kedudukan setiap sahabat ditentukan oleh jangka waktu ia menyertai Rasulullah. Ada yang menyertai beliau setahun, sebulan, sehari, sesaat, atau melihat beliau sekilas lalu (ia) beriman kepada beliau. Derajat masing-masing ditentukan menurut jangka waktunya menyertai Rasulullah."

Abu Hamid al-Ghazali berkata di dalam kitabnya, al-Mustashfa (1/165): "Siapakah sahabat itu? Sahabat ialah, siapa saja yang hidup bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau pernah berjumpa dengan beliau sekali, atau pernah menyertai beliau dalam waktu sebentar maupun lama. Lalu berapa batasan waktunya? Predikat sahabat dinisbatkan kepada siapa saja yang menyertai Rasulullah. Cukuplah disebut sahabat, meski ia hanya menyertai beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam waktu sebentar saja. Namun secara 'urf (kesepakatan umum) (ialah), mengkhususkannya bagi orang yang menyertai beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam waktu lama."

LARANGAN MENCELA SAHABAT NABI 
 
Imam Muslim meriwayatkan dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ 

"Janganlah mencela sahabatku! Janganlah mencela sahabatku! Demi Allah yang jiwaku berada di tanganNya, meskipun kalian menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan dapat menyamai satu mud sedekah mereka, tidak juga separuhnya."[5]

Hadits ini secara jelas melarang kita mencela sahabat Nabi. Larangan dalam hadits di atas hukumnya adalah haram. Yakni haram hukumnya mencela sahabat Nabi. Termasuk di dalamnya, yaitu semua bentuk celaan dan sindiran negatif yang ditujukan kepada mereka, atau salah seorang dari mereka. Sebab, mencela sahabat Nabi, berarti telah menyakiti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Imam Ahmad meriwayatkan dalam al-Fadha-il (19), dari jalur Waki', dari Ja'far -yakni Ibnu Burqan- dari Maimun bin Mihran, ia berkata, "Ada tiga perkara yang harus dijauhi. (Yaitu): mencela sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, meramal lewat bintang-bintang, dan mempersoalkan takdir."

Imam Ahmad juga menulis surat kepada Abdus bin Malik tentang Ushul Sunnah. Beliau berkata di dalam suratnya, "Termasuk Ushul, (yaitu) barangsiapa melecehkan salah seorang sahabat Nabi, atau membencinya karena kesalahan yang dibuat, atau menyebutkan kejelekannya, maka ia termasuk mubtadi' (ahli bid'ah), hingga ia mendoakan kebaikan dan rahmat bagi seluruh sahabat, dan hatinya tulus mencintai mereka."[6]

Imam Ahmad meriwayatkan di dalam kitab al-Fadha-il, dari jalur Waki', dari Sufyan, dari Nusair bin Za'luq, ia berkata: Saya mendengar Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma berkata, "Janganlah kalian mencela sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sungguh, kedudukan mereka sesaat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (itu) lebih baik daripada amal ibadah kalian sepanjang umurnya!"[7]

SIKAP AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH TERHADAP PERSELISIHAN YANG TERJADI
DI ANTARA SAHABAT
 
Banyak kita temui perkataan ahli ilmu yang berisi perintah untuk tidak mempersoalkan pertikaian yang terjadi di antara sahabat Nabi Radhiyallahu 'anhum. Bahkan telah disebutkan adanya ijma' dalam masalah ini.

Abdurrahman bin Abi Hatim berkata, "Aku pernah bertanya kepada ayahku dan Abu Zur'ah tentang madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan para alim ulama yang pernah ditemui oleh keduanya di berbagai belahan dunia, seperti di Hijaz, Iraq, Mesir, Syam, dan Yaman, dalam menyikapi para sahabat. Madzhab mereka ialah, mendoakan kebaikan dan rahmat atas segenap sahabat Muhammad, atas segenap keluarga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta menahan diri dari memperdebatkan pertikaian di antara mereka." Demikian pula dinyatakan oleh Imam al-Lalikai dalam Syarah Ushul I'tiqad (321) dan Abul 'Ala al-Hamdani dalam bukunya yang berisi penyebutan aqidah Ahlus Sunnah dan celaan terhadap perpecahan di halaman 90-91.

Dalilnya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang artinya: "Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: 'Ya, Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang'." [al-Hasyr : 10]

Juga sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Janganlah engkau mencela sahabatku ...... "

Abdurrazzaq meriwayatkan di dalam kitab al-Amali (51), dari jalur Ma'mar, dari Ibnu Thawus, dari Thawus, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا ذًُكِرَ أصحابي فَأَمْسِكُوْا و إِذَا ذًُكِرَ القَدَرُ فَأَمْسِكُوْا و إِذَا ذًُكِرَ النُّجُوْمُ فَأَمْسِكُوْا

"Jika sahabatku diperbincangkan, maka tahanlah diri. Jika masalah takdir dipersoalkan, maka tahanlah diri. Jika ramalan bintang-bintang dibicarakan, maka tahanlah diri."

Makna "jika sahabatku diperbincangkan, maka tahanlah diri ...", menurut para ulama ialah tidak mengomentari mereka dengan penilaian miring dan negatif. Maksudnya, bukan larangan menceritakan apa yang terjadi, misalnya peperangan Shiffin atau Jamal. Sebab, perkara tersebut memang telah diberitakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian perkara itu merupakan catatan sejarah. Oleh sebab itulah, para ulama menyebutkannya dan menulisnya di dalam kitab-kitab sejarah dan lainnya, bahkan telah dikarang buku khusus yang membicarakan permasalahan tersebut. Begitu pula Ibnu Jarir, Ibnu Katsir dan Ibnu Hajar serta para alim ulama lainnya menceritakan panjang lebar kisah tersebut. Akan tetapi mereka tidak menghujat atau mencela para sahabat, wallahu ta'ala a'lam.

Ibnu Baththah rahimahullah berkata -berkaitan dengan larangan mencampuri pertikaian besar di antara sahabat-:
"Kemudian setelah itu kita harus menahan diri dari pertikaian yang terjadi di antara sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebab, mereka telah melalui berbagai peristiwa bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan telah mendahului yang lainnya dalam hal keutamaan. Allah telah mengampuni mereka dan memerintahkan agar memintakan ampunan untuk mereka, dan mendekatkan diri kepadaNya dengan mencintai mereka. Semua itu Allah wajibkan melalui lisan RasulNya. Allah Maha Mengetahui apa yang bakal terjadi, bahwasanya mereka akan saling berperang. Mereka memperoleh keutamaan daripada yang lainnya, karena segala kesalahan dan kesengajaan mereka telah dimaafkan. Semua pertikaian yang terjadi di antara mereka telah diampuni. Janganlah melihat komentar-komentar tentang peperangan Shiffin, Jamal, peristiwa di kediaman Bani Sa'idah dan pertikaian-pertikaian lain yang terjadi di antara mereka. Janganlah engkau tulis untuk dirimu, atau untuk orang lain. Janganlah engkau riwayatkan dari seorangpun, dan jangan pula membacakannya kepada orang lain. Dan jangan pula mendengarkannya dari orang yang meriwayatkannya.

Itulah perkara yang disepakati para ulama umat ini. Mereka sepakat melarang perkara yang kami sebutkan tersebut. Di antara ulama tersebut ialah: Hammad bin Zaid, Yunus bin Ubaid, Sufyan ats-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Abdullah bin Idris, Malik bin Anas, Ibnu Abi Dzi'b, Ibnul Munkadir, Ibnul Mubarak, Syu'aib bin Harb, Abu Ishaq al-Fazari, Yusuf bin Asbath, Ahmad bin Hanbal, Bisyr bin al-Harits dan Abdul Wahhab al-Warraq; mereka semua sepakat melarang perkara tersebut, melarang melihat dan mendengar komentar tentang pertikaian tersebut. Bahkan mereka memperingatkan orang yang membahas dan berupaya mengumpulkannya. Banyak perkataan-perkataan yang diriwayatkan dari mereka, yang ditujukan kepada orang-orang yang melakukannya, dengan lafazh bermacam-macam, namun maknanya senada. Intinya, (mereka) membenci dan mengingkari orang yang meriwayatkan dan mendengarnya."[8]

Apabila Umar bin Abdul Aziz ditanya tentang peperangan Shiffin dan Jamal, beliau berkata, "Urusan yang Allah telah mengeluarkan tanganku darinya, maka aku tidak akan mencampurinya dengan lisanku!"[9]

Al-Khallal meriwayatkan dari jalur Abu Bakar al-Marrudzi, ia berkata, "Ada yang berkata kepada Abu Abdillah. Ketika itu kami berada di tengah pasukan. Dan kala itu datang pula seorang utusan Khalifah, yakni Ya'qub, ia berkata, ’Wahai Abu Abdillah. Apa pendapat Anda tentang pertikaian yang terjadi antara Ali dan Mu'awwiyah?' Abu Abdillah menjawab, 'Aku tidak mengatakan kecuali yang baik. Semoga Allah merahmati mereka semua'."[10]

Imam Ahmad menulis surat kepada Musaddad bin Musarhad. Isinya surat tersebut: "Menahan diri dari memperbincangkan kejelekan sahabat. Bicarakanlah keutamaan mereka, dan tahanlah diri dari membicarakan pertikaian di antara mereka. Janganlah berkonsultasi dengan seorangpun (dari) ahli bid'ah dalam masalah agama, dan janganlah menyertakannya dalam perjalananmu."[11]

Abu 'Utsman Ismail bin Abdurrahman ash-Shabuni rahimahullah menyatakan di dalam Aqidah Salaf Ashhabul Hadits: "Ahlu Sunnah berpendapat, wajib menahan diri dari mencampuri pertikaian di antara sahabat Rasul. (Yakni) menahan lisan dari perkataan yang mengandung celaan dan pelecehan terhadap para sahabat."

PERKATAAN ULAMA BERKAITAN DENGAN ORANG YANG MENCELA SAHABAT 
ATAU BERKOMENTAR MIRING TERHADAP SALAH SEORANG SAHABAT
 
Imam al-Bukhari rahimahullah menulis sebuah bab dalam Shahih-nya berjudul "Bab: Larangan Mencela Orang Yang Sudah Mati", kemudian beliau meriwayatkan sebuah hadits dari jalur Adam, dari Syu'bah, dari al-A'masy, dari Mujahid, dari 'Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَا تَسُبُّوا الْأَمْوَاتَ فَإِنَّهُمْ قَدْ أَفْضَوْا إِلَى مَا قَدَّمُوا 

"Janganlah kalian mencela orang yang sudah mati. Karena mereka telah menyelesaikan amal perbuatan mereka."[12]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

"Janganlah kalian mencela sahabatku. Karena sesungguhnya, meskipun kalian menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan dapat menyamai satu mud sedekah mereka, tidak juga separuhnya."

Di dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, diriwayatkan dari hadits al-Bara' bin 'Azib Radhiyallahu 'anhu, bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

الْأَنْصَارُ لَا يُحِبُّهُمْ إِلَّا مُؤْمِنٌ وَلَا يُبْغِضُهُمْ إِلَّا مُنَافِقٌ فَمَنْ أَحَبَّهُمْ أَحَبَّهُ اللَّهُ وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ أَبْغَضَهُ اللَّهُ 

"Tidaklah mencintai kaum Anshar, kecuali seorang mukmin. Dan tidaklah membenci mereka, kecuali seorang munafik. Barangsiapa mencintai mereka, niscaya Allah mencintainya. Barangsiapa membenci mereka, niscaya Allah membencinya."[13]

Ibnu Asakir menyebutkan, ketika dihadapkan kepada Umar, seorang Arab Badui menyerang sahabat Anshar dengan kata-kata, kemudian beliau berkata: "Sekiranya dia bukan sahabat Nabi, niscaya cukuplah aku yang menyelesaikannya. Akan tetapi, ia masih termasuk sahabat Nabi."[14]

Imam al-Lalikai meriwayatkan dari jalur Hambal bin Ishaq, dari Muhammad bin ash-Shalt, dari Qeis bin ar-Rabi', dari Wa'il dari al-Bahi, ia berkata: Pernah terjadi pertengkaran antara Ubaidullah bin Umar dengan al-Miqdam, lalu Ubaidullah mencela al-Miqdam, maka Umar berkata: "Tolong, ambilkan besi tajam, agar kupotong lisannya, sehingga tidak seorangpun sesudahnya yang berani mencela salah seorang sahabat Nabi."[15]

Al-Lalikai juga meriwayatkan dari jalur Sufyan bin Uyainah, dari Khalaf bin Hausyab, dari Sa'id bin Abdirrahman bin Abza, ia berkata: Aku bertanya kepada ayahku, "Seandainya aku membawa seseorang yang mencaci Abu Bakar, apa kira-kira yang engkau lakukan?" Beliau menjawab, "Akan kupenggal lehernya!" Aku bertanya lagi: "Bagaimana jika mencaci Umar?" Jawab ayahku, "Juga akan kupenggal lehernya!"[16]

Ibnu Baththah menyebutkan, bahwa Sufyan ats-Tsauri berkata: "Janganlah engkau mencela Salafush Shalih, niscaya engkau akan masuk surga dengan selamat."

Imam al-Lalikai meriwayatkan dari jalur Ma'n bin Isa, ia berkata: Saya mendengar Malik bin Anas berkata, "Barangsiapa mencela sahabat Nabi, maka ia tidak berhak mendapat harta fa'i, sebab Allah berfirman: (Juga) bagi para fuqara Muhajirin yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan(Nya) -QS al-Hasyr ayat 8-, mereka adalah sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang berhijrah bersama beliau. Kemudian Allah berfirman: Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin) –QS al-Hasyr: 9-, mereka adalah kaum Anshar. Kemudian Allah berfirman : Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang –QS al-Hasyr: 10-. Itulah ketiga golongan yang berhak menerima fa'i. Barangsiapa mencela sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ia tidak termasuk salah satu dari tiga golongan tersebut, dan ia tidak berhak menerima fa'i."[17]

Al-Khallal meriwayatkan dalam kitab as-Sunnah, dari jalur Abu Bakar al-Marwadzi, ia berkata: "Saya bertanya kepada Abu Abdullah (yakni Imam Ahmad) tentang hukum orang yang mencela Abu Bakar, Umar dan 'Aisyah Radhiyallahu 'anhum. Beliau berkata, 'Menurut saya, ia bukan orang Islam.' Saya juga mendengar Abu Abdillah berkata, 'Imam Malik mengatakan, siapa saja yang mencela sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ia tidak mendapat bagian apapun dalam Islam'."

Al-Khallal juga meriwayatkan dari jalur Abdul Malik bin Abdul Hamid, ia berkata: "Saya mendengar Abu Abdillah berkata, 'Barangsiapa mencela sahabat Nabi, maka aku khawatir ia jatuh ke dalam kekufuran, seperti halnya kaum Rafidhah', kemudian beliau berkata, 'Barangsiapa mencela sahabat Nabi, maka dikhawatirkan ia keluar dari agama'."

Al-Khallal juga meriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal, ia berkata: "Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang orang yang mencela salah seorang sahabat Nabi, (dan) beliau menjawab, 'Menurut saya, dia bukan orang Islam'."

Al-Khallal juga meriwayatkan dari jalur Harb bin Ismail al-Kirmani, dari Musa bin Harun bin Ziyad, bahwa ia mendengar al-Faryabi ditanya oleh seorang lelaki tentang hukum orang yang mencaci Abu Bakar. Beliau (al-Faryabi) menjawab: "Kafir!" Tanyanya lagi: "Bolehkah jenazahnya dishalatkan?" Jawab beliau, "Tidak!" Aku bertanya kepadanya: "Bukankah ia telah mengucapkan La Ilaha illallah?" Beliau menjawab, "Janganlah kalian sentuh jenazahnya dengan tangan kalian, angkatlah jenazahnya dengan kayu, lalu kuburkan dalam lubang kuburnya."

Imam Ahmad berkata dalam sebuah risalah yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Ja'far bin Ya'qub al-Ishthakhri: "Seorangpun tidak boleh menyebutkan keburukan para sahabat, dan janganlah mencela seorangpun dari sahabat karena aib atau kekurangannya. Barangsiapa melakukan hal itu, maka wajib bagi penguasa menjatuhkan hukuman dan sanksi atasnya. Kesalahannya itu tidak boleh dimaafkan. Pelakunya harus dihukum dan diminta bertaubat. Jika ia bertaubat, maka diterimalah taubatnya. Jika tetap bertahan, maka hukuman kembali dijatuhkan atasnya, dan dipenjara seumur hidup hingga mati atau bertaubat."

Beliau (Imam Ahmad) berkata di awal risalahnya ini: "Itulah madzab ahli ilmu, ahli atsar dan ahlu sunnah yang teguh memegangnya, di kenal dengannya, yang masalah ini telah diikuti semenjak zaman sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai sekarang ini. Saya telah bertemu dengan para ulama dari Hijaz, Syam dan daerah lainnya berada di atas madzhab tersebut."[18]

Al-Qadhi' Iyadh berkata dalam Syarah Shahih Muslim[19]: "Mencela sahabat Nabi dan merendahkan mereka, atau salah seorang dari mereka, (itu) termasuk perbuatan dosa besar yang diharamkan. Nabi telah melaknat orang yang melakukannya."

Diriwayatkan dari Ibrahim an-Nakha-i, ia berkata: "Mencaci Abu Bakar dan Umar termasuk dosa besar."

Demikian pula dinyatakan oleh Abu Ishaq as-Sab'i, dan disebutkan pula hal itu oleh Ibnu Hajar al-Haitsami dalam kitab az-Zawajir, ia berkata: "Dosa besar yang ke empat ratus enam puluh empat dan empat ratus enam puluh lima ialah membenci kaum Anshar, mencaci salah seorang sahabat Nabi –radhiyallahu 'anhum ajma'in."[20]

Dari uraian di atas jelaslah, betapa besar dosa mencela sahabat Nabi atau salah seorang dari mereka. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang mencela orang yang sudah mati dan melarang mencela sahabat beliau. 'Aisyah Radhiyallahu 'anha juga mengabarkan, bahwa mereka telah diperintahkan untuk memohon ampunan bagi sahabat Nabi, akan tetapi, mereka justru malah mencela sahabat.[21]

Begitulah kenyataannya, mereka benar-benar mencela sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Orang-orang yang mencela sahabat Nabi itu sebenarnya meniru perbuatan seorang zindiq bernama Abdullah bin Saba'. Oleh sebab itu, mereka merupakan orang yang paling mirip dengan kaum Nasrani yang mencela kaum Hawariyun, pengikut setia Nabi Isa Alaihissallam.

Imam al-Ajurri meriwayatkan dari jalur Ahmad bin Abdullah bin Yunus, dari Ibnu Abi Dzi'b, dari az-Zuhri, ia berkata: "Belum pernah aku melihat orang yang paling mirip dengan kaum Nasrani selain pengikut Saba'iyah." Ahmad bin Yunus berkata, "Mereka adalah kaum Syi'ah Rafidhah."[22]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata di dalam kitab ash-Sharimul Maslul: "Sejumlah ulama dari kalangan sahabat-sahabat kami (yakni ulama madzhab Hambali) menegaskan kekafiran kaum Khawarij yang meyakini harus berlepas diri dari Ali dan Utsman, dan juga menegaskan kekafiran Rafidhah yang meyakini wajib mencaci seluruh sahabat, dan menegaskan kekafiran orang-orang yang mengkafirkan sahabat, mengatakan mereka fasik atau mencaci mereka."

Abu Bakar Abdul Aziz berkata di dalam kitab al-Muqni': "Adapun jika ia termasuk penganut paham Rafidhah yang mencaci sahabat, maka hukumnya kafir dan tidak boleh dinikahkan (dengan wanita Ahlus Sunnah wal Jama'ah). Sedangkan pendapat ulama lainnya, dan inilah pendapat yang didukung oleh al-Qadhi Abu Ya'la, bahwa jika ia benar-benar mencaci sahabat dan menjatuhkan martabat agama dan keshalihan mereka, maka ia kafir karena perbuatan tersebut. Namun jika ia mencacinya tanpa menjatuhkan martabat -misalnya mencaci ayah salah seorang dari mereka, atau mencacinya dengan maksud membuat marah, atau tujuan lainnya- maka ia tidaklah kafir karena hal itu."

Itulah sikap yang harus dimiliki setiap muslim terhadap para sahabat yang mulia. Sebagaimana dimaklumi, Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak mengatakan jika sahabat itu ma'shum dari dosa besar ataupun dosa kecil. Boleh jadi mereka melakukan dosa tersebut, akan tetapi mereka tetap yang paling utama, paling baik dan mempunyai kelebihan sebagai sahabat Nabi. Itulah sebabnya mereka mendapat ampunan atas kesalahan yang mereka perbuat. Bahkan mereka mendapat ampunan atas dosa dan kesalahan, yang barangkali, bila dilakukan oleh selain mereka, belum tentu diampuni. Setiap muslim wajib meyakini hal ini dan mempertahankannya. Sebab ini merupakan bagian dari ajaran agama yang diturunkan Allah.

Sebagai penutup tulisan ini, berikut adalah pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam kitab ash-Sharimul Maslul: "Dalam masalah ini, kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara para ahli fiqih dan ahli ilmu dari kalangan sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, serta (di kalangan) seluruh Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Mereka semua sepakat, bahwa kita wajib memuji para sahabat, memohon ampunan bagi mereka, memohon curahan rahmat bagi mereka, mendoakan mereka (dengan mengucapkan radhiyallahu 'anhu), mencintai dan loyal kepada mereka, serta meyakini adanya sanksi yang berat atas orang yang berpandangan buruk tentang mereka." Wallahul musta'an.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus 07-08/Tahun IX/1426/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
 
________
Footnote
[1] HR. al-Bukhari no. 3651 dan Muslim no. 2533.
[2] HR. al-Bukhari no. 3650 dan Muslim no. 2535.
[3] HR Muslim no. 2536.
[4] Musnad Imam Ahmad IV/126-127, Abu Dawud no. 4607, at-Tirmidzi no. 2676, Ibnu Majah no. 42, ad-Darimi no. 95. Hadits ini shahih. Dinyatakan shahih oleh at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, al-Hakim, al-Bazzar, Abu Nu'aim dan Ibnu Rajab ketika mensyarah hadits ini. Tambahan yang terdapat di akhir hadits "Sesungguhnya seorang mukmin ibarat unta yang jinak, apabila di arahkan kepada kebaikan ia pasti menurut" adalah tambahan yang mungkar.
[5] HR Muslim no. 2540.
[6] Thabaqatul Hanabilah I/345.
[7] Diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Fadha-il no. 15 dan al-Baihaqi dalam al-I'tiqad dengan sanad shahih. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya no. 162.
[8] al-Ibanah, karangan Ibnu Baththah, hlm. 268. Bagi yang ingin penjelasan lebih lengkap, silakan lihat kitab as-Sunnah, karangan al-Khallal. Beliau telah menulis sebuah bab dalam kitabnya itu tentang teguran keras terhadap orang yang menulis riwayat-riwayat yang berisi hujatan terhadap sahabat Nabi.
[9] as-Sunnah, al-Khallal, 717.
[10] as-Sunnah, al-Khallal, 713.
[11] Thabaqatul Hanabilah, I/344.
[12] HR. al-Bukhari no. 1393.
[13] HR. al-Bukhari no. 3783 dan Muslim no. 75.
[14] Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqi 59/206 dan al-Ishabah I/11, lalu ia menyebutkan sanadnya sendiri, kemudian berkata: "Perawi hadits ini tsiqah".
[15] al-Lalikai no. 2376.
[16] al-Lalikai no. 2378.
[17] al-Lalikai no. 2400.
[18] Thabaqatul Hanabilah, I/24.
[19] Syarah Shahih Muslim no. VII/580.
[20] Beliau telah menulis sebuah kitab yang sarat faidah dalam masalah ini, berjudul ash-Shawaiqul Muhriqah 'Ala Ahli Rafdh wad Dhalal waz Zanadiqah.
[21] HR. Muslim no. 3022. 
[22] al-Ajurri dalam kitab asy-Syari'at no. 2028 dan 2030, sanadnya shahih.



- sumber -
http://almanhaj.or.id/content/2843/slash/0

Senin, 30 Desember 2013

Tagged under: ,

10 Prinsip Meraih Ilmu



بسم الله الرحمن الرحيم

Muqaddimah oleh asy-Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi

 الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله ، وعلى آله وصحبه وبعد : 

Saudaraku fillah 'Abdullah bin Shalfiq azh-Zhafiri telah menunjukkan kepadaku buah penanya tentang prinsip-prinsip yang selayaknya dijalani oleh para penuntut ilmu. Sungguh aku melihat tulisan tersebut sebagai karya yang istimewa. Dia telah mendapatkan taufiq untuk mengumpulkan prinsip-prinsip yang dibutuhkan oleh penuntut ilmu, diiringi dengan dalil-dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah. 


Kesimpulannya, penulis telah melakukan suatu yang bagus dan memberikan faidah. Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan, dan semoga Allah membanyakkan yang semisal ini. Aku memberikan semangat kepada para penuntut ilmu untuk menghafal dan memperhatikan prinsip-prinsip ini. Wabillahit Taufiq. 
______
Ahmad bin Yahya An-Najmi 
27-4-1421 H 
* * *
 
بسم الله الرحمن الرحيم 
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على رسول الله، أما بعد : 

Tulisan ini merupakan penjelasan ringkas tentang prinsip-prinsip penting yang diperlukan oleh seorang yang menempuh jalan thalabul 'ilmi (menuntut ilmu syar'i). Saya wasiatkan dan saya ingatkan diriku dan saudara-saudaraku sekalian dengannya, karena sesungguhnya seorang yang menempuh jalan thalabul ‘ilmi dan ingin menuai hasilnya maka harus ada 10 prinsip :  

Pertama: Meminta Tolong Kepada Allah
Manusia itu lemah. Tidak ada daya dan kekuatan baginya kecuali dari Allah. Apabila dia diserahkan pada dirinya sendiri, maka sungguh dia akan hancur dan binasa. Namun kalau dia menyerahkan segala urusannya kepada Allah Ta'ala dan meminta tolong kepada-Nya dalam menuntut ilmu, maka Allah pasti akan menolongnya. Allah 'Azza wa Jalla telah memberikan dorongan untuk berbuat demikian dalam Kitab-Nya yang mulia, Allah befirman :

( إياك نعبد وإياك نستعين ) 

Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami minta pertolongan. [al-Fatihah] 

Allah juga berfirman :

(ومن يتوكل على الله فهو حسبة ) [ الطلاق : 3] 

"Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Dia yang akan menjadi sebagai pencukupnya." [ath-Thalaq: 3] 

Allah juga berfirman : 

( وعلي الله فتوكلوا إن كنتم مؤمنين ) ]المائدة : 23)

"...dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya kalian bertawakkal, jika kalian memang kaum mukminin." 

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لو أنكم توكلون على الله حق توكله لرزقكم كما يرزق الطير ، تغدو خماصاً ، وتروح بطاناً 

"Kalau seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberikan rizki kepada kalian, sebagaimana Dia memberi rizki pada burung, yakni burung tersebut berangkat pagi dalam keadaan lapar, pulang sore hari dalam keadaan kenyang."[1] 


Sebesar-besar rizki adalah ilmu. Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam senantiasa bertawakkal dan meminta pertolongan kepada Rabbnya dalam segala urusan beliau. Dalam doa keluar rumah yang sah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terdapat dalil yang menunjukkan hal tersebut. Beliau berdo'a : 

بسم الله توكلت على الله ولا حول ولا قوة إلا بالله 

"Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah. Tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah."[2]

Kedua: Niat yang Baik 
Seseorang niatnya harus karena Allah 'Azza wa Jalla dalam menuntut ilmu. Bukan menginginkan didengar (orang lain) atau pun ingin terkenal, tidak pula karena kepentingan-kepentingan duniawi. Barangsiapa yang menjadikan niatkan hanya karena Allah, maka Allah akan memberikan taufiq padanya serta memberikan pahala atas amalannya tersebut. karena (menuntut) ilmu adalah ibadah, bahkan termasuk ibadah yang terbesar. 

Suatu amalan, seorang hamba tidak akan diberi pahala atas amalan tersebut, kecuali apabila dia mengikhlaskan karena Allah, dan mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

( إن الله مع الذين اتقوا والذين هم محسنون ) [ النحل : 128) 

"Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat ihsan." [an-Nahl: 128]


Ketaqwaan yang terbesar adalah mengikhlaskan niat karena Allah. Adapun orang yang riya' dalam menuntut ilmu, disamping dia rugi di dunia, dia juga akan diadzab di Hari Akhir. Sebagaimana dalam hadits yang menjelaskan tentang 3 orang yang diseret di atas wajah-wajah mereka. Salah satu dari tiga orang tersebut adalah seorang penuntut ilmu, yang mencari ilmu agar dirinya dikatakan sebagai orang 'alim (berilmu), dan dia telah dikatakan demikian.[3]

Ketiga: Merendah Kepada Allah dan Memohon Kepada-Nya Taufiq dan Ketepatan serta Meminta Kepada Rabbnya Tambahan dalam Menuntut Ilmu 
Seorang hamba itu faqir, sangat butuh kepada Allah. Dan Allah Ta’ala telah memberikan motivasi hamba-hamba-Nya untuk meminta dan merendah kepada-Nya. Allah berfirman: 

( ادعوني أستجب لكم ) [ غافر : 60) 

"Berdo'alah kalian kepada-Ku niscaya Aku kabulkan untuk kalian." [Ghafir: 60]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 


 ينزل ربنا كل ليلة إلي سماء الدنيا حين يبقى ثلث الليل الآخر ، فيقول: من يدعوني فأستجب له ، من يسألني فأعطية ، ومن يستغفرني فأغفر له

"Rabb kita tiap malam turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir, seraya berkata: 'Barangsiapa yang berdo'a kepada-Ku pasti akan Aku kabulkan, barangsiapa yang meminta kepada-Ku niscaya Aku beri dia, dan barangsiapa yang meminta ampun kepada-Ku niscaya Aku ampuni dia."[4]

Allah 'Azza wa Jalla juga telah memerintahkan Nabi-Nya untuk memohon kepada-Nya tambahan ilmu. Allah berfirman: 

( وقل رب زدني علما ) [ طه: 114)

"Dan katakanlah (dalam doamu) Wahai Rabbku, tambahkan untukku ilmu." [Thaha: 114] 

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman mengisahkan tentang Nabi Ibrahim 'alahis salam: 

( رب هب لي حكما وألحقني بالصالحين ) [ الشعراء: 83] 

(Ibrahim berdoa): "Ya Rabbi, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang shalihin." [asy-Syu'ara: 83] 
Hikmah di sini yang dimaksud adalah ilmu. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: 

إذا اجتهد الحاكم … الحديث 


"Apabila seorang hakim (berilmu) telah berijtihad…"[5]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mendo'akan shahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu agar diberi kekuatan hafalan.[6]

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga mendo'akan shahabat Ibnu 'Abbas agar diberi karunia ilmu. Beliau berdo'a:

اللهم فقهه في الدين ، وعلمه التأويل 

"Ya Allah, jadikan ia faqih (berilmu) tentang agama, dan ajarkanlah padanya ilmu tafsir."[7] 

Allah pun mengabulkan doa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka shahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu tidaklah beliau mendengar satu hadits/ilmu kecuali beliau menghafalnya. Dan jadilah Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma sebagai hibrul ummah dan turjumanul qur'an (gelar bagi shahabat Ibnu 'Abbas karena keilmuannya yang sangat luas dan pemahamannya yang sangat mendalam terhadap tafsir al-Qur'an).

Para 'ulama pun senantiasa berjalan di atas prinsip ini. Inilah Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, beliau menuju ke masjid, kemudian sujud kepada Allah dan meminta kepada-Nya dengan mengatakan, "Wahai Dzat yang telah mengajari Nabi Ibrahim, ajarilah aku. Wahai Dzat yang telah memberikan pemahaman kepada Nabi Sulaiman, pahamkanlah aku." Maka Allah pun mengabulkan doa beliau. Sampai-sampai Ibnu Daqiqil 'Id rahimahullah mengatakan, "Sungguh Allah telah mengumpulkan ilmu untuknya, sampai seakan-akan ilmu tersebut berada di antara kedua matanya, yang bisa beliau ambil sekehendak beliau." 

Keempat: Kebaikan Hati
Hati merupakan wadah bagi ilmu. Apabila wadah tersebut bagus, maka bisa melindungi dan menjaga sesuatu yang ada di dalamnya. Namun apabila wadanya rusak, maka sesuatu yang ada di dalamnya bisa hilang. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan hati sebagai dasar bagi segala sesuatu. Beliau bersabda: 

ألا وإن في الجسد مضغه ، إذا صلحت صلح الجسد كله ، وإذا فسدت فسد الجسد كله ، ألا وهي القلب 

"Ketahuilah bahwa dalam jasad itu terdapat segumpal daging. Apabila segumpal daging tersebut baik, maka baiklah seluruh jasad. Namun jika jelek, maka jasad seluruhnya pun jelek. Ketahulah bahwa segumpal daging tersebut adalah hati."[8] 


Kebaikan hati akan terwujud dengan ma'rifatullah (mengenal Allah Subhanahu wa Ta'ala) dengan nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya, serta merenungkan makhluk-makhluk dan ayat-ayat-Nya. Kebaikan hati juga akan terwujud dengan merenungkan al-Qur'anul 'Azhim. Demikian juga kebaikan hati akan terwujud dengan banyak sujud dan shalat malam. Hendaknya seseorang menjauh/menghindarkan dari perusak-perusak dan penyakit-penyakit hati.


Perusak dan penyakit tersebut apabila ada dalam hati, maka hati tersebut tidak akan mampu membawa ilmu, kalau pun bisa membawanya namun ia tidak akan memahaminya. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang orang-orang munafik yang sakit hatinya, "Mereka punya hati namun mereka tidak bisa memahaminya." [al-A'raf: 179] 


Penyakit-penyakit hati, terbagi dua: syahwat dan syubhat. Syahwat, seperti cinta dunia dan berbagai kelezatannya, serta menyibukkan diri denganya, senang kepada gambar-gambar yang haram, suka mendengarkan sesuatu yang diharamkan berupa suara musik atau lagu, dan juga melihat sesuatu yang haram. Syubhat, seperti keyakinan-keyakinan yang rusak, amal-amal yang bid'ah, menisbahkan diri pada berbagai paham pemikiran bid'ah yang menyimpang dan menyelisihi manhaj salaf. Termasuk penyakit hati yang bisa menghalangi dari ilmu adalah hasad, khianat, dan sombong. Termasuk perusak hati juga adalah kebanyakan tidur, banyak bicara, dan banyak makan. Maka hendaknya dihindarkan penyakit-penyakit dan perusak-perusak kebaikan hati di atas. 

Kelima: Kecerdasan 
Kecerdasan itu ada yang alami, ada pula yang muktasab (bisa diupayakan). Apabila seseorang memang cerdas, maka dia harus semakin menguatkannya. Kalau tidak, maka dia harus menampa diri agar bisa meraih kecerdasan tersebut. Kecerdasan merupakan di antara sebab kuat yang menunjang dalam pengumpulan ilmu, memahami, dan menghafalnya, serta membedakan antara berbagai masalah, memadukan dalil-dalil, dan sebagainya.

Keenam: Antusias Mengumpulkan Ilmu 
Hal ini merupakan sebab untuk bisa memperolehnya dan mendapatkan pertolongan Allah Ta'ala terhadapnya (ilmu). Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: 

( إن الله مع الذين اتقوا والذين هو محسنون ) [ النحل: 128)

"Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat ihsan." [an-Nahl: 128] 


Seseorang apabila dia tahu tentang nilai penting sesuatu, maka ia akan antusias untuk meraihnya. Sedangkan ilmu merupakan suatu terbesar yang semestinya diraih oleh seseorang. Maka wajib atas penuntut ilmu mempunyai antusias yang kuat untuk menghafal dan memahami ilmu, duduk bersama para 'ulama dan talaqqi ilmu langsung dari mereka, semangat untuk banyak membaca, menyibukkan umur dan waktunya (untuk ilmu), dan sangat perhitungan terhadap waktunya. 

Ketujuh: Keseriusan, Kesungguhan, dan Kontiunitas dalam Meraih Ilmu 
Menjauh dari kemalasan dan kelemahan. Mujahadatun Nafs (memerangi diri sendiri) dan memerangi syaithan. Jiwa dan Syaithan merupakan dua penghalang amalan menuntut ilmu. Di antara sebab yang membantu membangkitkan kesungguhan dalam menuntut ilmu adalah membaca biografi-biografi para 'ulama tentang kesabaran, kekokohan menanggung beban/resiko, dan perjalanan mereka dalam meraih ilmu dan hadits. 

Kedelapan: Konsentrasi 
Yaitu seorang penuntut ilmu mencurahkan segala kesungguhannya hingga ia berhasil sampai kepada tujuannya dalam ilmu dan kekokohan padanya, baik kekuatan hafalan, pemahaman, dan pondasi yang kokoh. 

Kesembilan: Terus Berada di Sisi Guru dan Pengajar 
Ilmu itu diambil dari mulut para 'ulama. Maka seorang penuntut ilmu, agar kokoh dalam ilmu di atas pondisi yang benar, maka hendaknya ia bermulazamah kepada 'ulama, talaqqi (mengambil) ilmu langsung dari mereka. Sehingga pencarian ilmunya tegak di atas kaidah-kaidah yang benar, mampu melafazhkan nash-nash qur'ani dan hadits dengan pelafazhan yang benar, tidak ada kesalahan maupun kekeliruan. Memahami ilmu dengan pemahaman yang tepat sesuai maksudnya. Dan lebih dari itu, dia bisa mengambil faidah dari 'ulama mengenai adab, akhlaq, dan sifat wara'. 

Hendaknya dia menghindar agar jangan sampai yang menjadi gurunya adalah kitab. Karena sesungguhnya barangsiapa yang gurunya adalah kitabnya maka ia akan banyak salahnya sedikit benarnya. Demikianlah, inilah yang terjadi pada umat ini. Tidak seorang tampil menonjol dalam ilmu kecuali ia sebelumnya telah tertarbiyyah dan terdidik di hadapan 'ulama. 

Kesepuluh: Menempuh Waktu yang Lama
Janganlah seorang penuntut ilmu mengira bahwa menuntut ilmu akan selesai sehari atau dua hari, setahun atau dua tahun. Bahkan menuntut ilmu itu butuh kesabaran bertahun-tahun. 

Al-Qadhi 'Iyadh ditanya, "Sampai kapan seseorang itu menuntut ilmu?" Beliau menjawab, "Sampai mati, sehingga tintanya menemaninya sampai ke kuburnya." Al-Imam Ahmad berkata, "Aku duduk mempelajari Kitabul Haidh selama sembilan tahun hingga aku memahaminya." Demikianlah, para penuntut ilmu yang cerdas senantiasa duduk bermulazamah kepada 'ulama selama sepuluh tahun atau dua puluh tahun. Bahkan sebagian mereka terus bermulazamah hingga Allah mewafatkannya. 

Inilah beberapa prinsip yang perlu untuk diperhatikan oleh penuntut ilmu guna meraih ilmu. Saya memohon kepada Allah agar memberikan taufiq terhadap kita dan antum kepada ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih. 

وصلي الله على نبينا محمد ، وعلي آله وصحبه ومن تبعهم واقتفي أثرهم بإحسان إلي يوم الدين . تم ولله الحمد 

____________ 
Catatan Kaki : 
[1] HR. Ahmad (I/30), at-Tirmidzi (2344), Ibnu Majah (4164), dari shahabat 'Umar bin al-Khaththab radhiyallahu 'anhu. Dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 310. 
[2] HR. Abu Dawud (5095), at-Tirmidzi (3426), dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu. Dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam al-Kalimuth Thayyib no. 59. 
[3] Yaitu hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan tentang tiga orang yang pertama kali diadili para hari Kiamat nanti, salah satu di antara mereka adalah orang yang diberi karunia ilmu: 

… وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ. قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ. وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ. فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِىَ فِى النَّارِ. … 

"…dan seorang yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya, serta rajin membaca al-Qur'an. Maka ia pun didatangkan, kemudian diperlihatkan kenikmatan-kenikmatan yang telah diberikan kepadanya, maka ia pun mengakuinya. Allah berkata, 'Apa yang kamu amalkan dengan nikmat-nikmat tersebut?' Dia menjawab, 'Saya mempelajari ilmu dan mempelajarinya, serta aku rajin membaca al-Qur'an karena Engkau.' Allah menjawab, 'Kamu telah berdusta!! Engkau mempelajari ilmu karena ingin dikatakan sebagai seorang yang 'alim (berilmu), dan engkau rajin membaca al-Qur'an supaya dikatakan dia adalah qari', dan kamu telah dikatakan demikian.' Maka dia diperintahkan diseret di atas wajah, kemudian dicampakkan ke dalam Neraka. …" (HR. Muslim 1905) 
[4] HR. Al-Bukhari 1145, Muslim 758, dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu.
[5] HR. Al-Bukhari 7352, Muslim 1716 dari shahabat 'Amr bin al-'Ash dan shahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhuma. 
[6] Lihat HR. Al-Bukhari 119 
[7] Penggal pertama do'a ini: (اللهم فقهه في الدين ) diriwayatkan oleh al-Bukhari 143. Adapun penggal kedua diriwayatkan oleh ath-Thabarani. Lihat ash-Shahihah no. 2589. 
[8] HR. Al-Bukhari no. 52, Muslim 1599, dari shahabat an-Nu'man bin Basyir radhiyallahu 'anhu.


 
 - sumber -
www.dammajhabibah.wordpress.com
http://ulamasunnah.wordpress.com/2011/01/27/10-prinsip-meraih-ilmu/